Jakarta, Suara-News — Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS menunjukkan tren pelemahan sejak awal 2024. Melemahnya Rupiah tak terlepas dari berbagai faktor eksternal dan internal, di antaranya kebijakan suku bunga tinggi The Fed, berkurangnya minat investor asing, dan melemahnya harga komoditas ekspor.
Ketua Banggar DPR, Said Abdullah, melihat dari sisi eksternal kebijakan suku bunga tinggi The Fed untuk menekan inflasi di Amerika Serikat (AS) memicu aliran modal keluar dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini menyebabkan nilai tukar mata uang negara berkembang, termasuk Rupiah, tertekan.
Sementara itu, di sisi internal, minat investor asing terhadap Surat Berharga Negara (SBN) terus menurun. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti pandemi COVID-19, tingginya inflasi, dan ketidakpastian geopolitik global.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Pada tahun 2019, porsi asing dalam SBN sebanyak 38,5 persen, setahun kemudian tinggal 25,1 persen, dan akhir Mei 2024 tersisa 14 persen. Perginya investor asing pada SBN mengakibatkan kepemilikan US Dolar juga kian menurun,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (18/6).
Lebih lanjut, ia menilai melemahnya harga komoditas ekspor utama Indonesia seperti batu bara dan CPO juga turut memperburuk kondisi Rupiah.
Harga batu bara yang anjlok dari level US$400/ton di awal 2022 menjadi hanya US$120/ton saat ini. Sementara harga CPO turun dari MYR4.200-4.400/ton pada 2022 menjadi MYR3.800-3.900/ton, menyebabkan berkurangnya pasokan Dolar AS dari sektor ekspor.
Di sisi lain, tingginya impor barang dan jasa oleh Indonesia juga menambah tekanan pada Rupiah. Hal ini menyebabkan defisit neraca perdagangan dan neraca berjalan yang semakin besar, sehingga memperburuk kondisi Rupiah.
“Bukan hanya rupiah yang terpukul karena meluaskan kran impor, sejumlah industri dalam negeri seperti tekstil malah gulung tikar dan merumahkan karyawannya,” ucap dia.
Tak hanya itu saja, Said melanjutkan, dari sisi eksternal perekonomian AS perlahan lahan makin membaik sejak badai inflasi pada 2022. Penguatan perekonomian AS ini membuat investor memilih meninggalkan Indonesia.
Akibatnya, pada tahun lalu current account Indonesia defisit US$1,6 miliar. Bahkan food trade deficit Indonesia pada 2023 menyentuh US$ 5,3 miliar, angka tertinggi hingga saat ini.
Said pun mengingatkan agar kita tidak terlena dengan data inflasi yang rendah di level 3 persen. Menurutnya, inflasi rendah tidak bisa secara langsung diartikan sebagai terkendalinya harga kebutuhan pokok rakyat.
Jika disandingkan dengan sejumlah data lainnya seperti berlanjutnya keputusan sejumlah industri merumahkan karyawan, tingkat konsumsi rumah tangga pada 2023 dan 2024 yang tengah berjalan, tidak setinggi 2022.
Ia pun memaparkan, hal ini dapat terlihat dari survei tingkat penjualan eceran jenis sandang oleh BI sejak pandemi dari 2020 sampai sekarang. Saat ini nilainya masih di level 51,8-57, sedangkan periode sebelum pandemi di kisaran 150-240.